Biografi KH. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta, pelopor Qira'at Riwayat Hafs di Indonesia


KH. Muhammad Munawwir 

 

· Latar Belakang Keluarga

KH. Muhammad Munawwir dilahirkan di kampong Kauman, terletak disekitar Masjid Gedhe (Masjid Jami’) Yogyakarta, sekitar satu kilometer selatan jalan Malioboro yang menjadi pusat kota. Tidak ada keterangan tahun berapa Kiai Munawwir dilahirkan, namun menurut M. Bibit Suprapto memperkirakan tahun kelahirannya adalah 1870-an.

Beliau adalah anak kedua dari pasangan KH. Abdullah Rasyad dan Nyai Khadijah. Kiai Abdullah Rasyad adalah putra KH. Hashan Bashari (Hasan Besari), ajudan Pangeran Diponegoro yang pernah diberi tugas untuk merebut wilayah dari tangan Kolonial Belanda. Di kampong ini pula lahir pendidi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 H). Beliau berasal dari keluarga santri atau kiai. Ayah dan kakek beliau bergelar “kiai”. Sang Kakek juga menjadi ajudan Pangeran Diponegoro.


· Menuntut Ilmu

Kiai Munawwir adalah sosok yang rajin mengaji dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Awalnya Kiai Munawwir belajar kepada guru-guru disekitar rumahnya, kemudian melanjutkan belajar di Pesantren. Untuk memotivasi anaknya agar bersemangat dalam belajar Al-Qur’an, Kiai Abdullah Rasyad memberi hadiah uang sebesar 150 rupiah kepada Kiai Muanawwir jika berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an.

Kiai Munawwir kecil belajar di Bangkalan Madura, tepatnya di Pesantren yang diasuh oleh Syaikhana Muhammad Khalil, kiai paling kharismatik pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Konon Kiai Munawwir disuruh Kiai Khalil mengimami shalat padahal usianya baru 10 tahun. Kiai Khalil seolah-olah sudah tahu jika kelak Kiai Munawwir akan menjadi orang yang ahli dalam bidang Qira’at Al-Qur’an.

Selain di Bangkalan Madura, Kiai Munawwir juga belajar disejumlah pesantren di Jawa Tengah. Tercatat Kiai Munawwir pernah belajar kepada KH. Abdullah Kanggotan Bantul, KH. Saleh Darat Semarang dan KH. Abdurrahman Watucongol Magelang. Kiai Munawwir memperdalam ilmu nahwu, sharaf, fiqh, tasawuf dan lain-lain. Belajar disejumlah pesantren ini menjadi bekal Kiai Munawwir kelak untuk memperdalam pengatahuannya ketika belajar di Tanah Suci.

Memang belajar ke Tanah Suci menjadi tradisi para santri di Indonesia, misalnya Hadratus Syeikh Hasyim ‘Asyari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri dan lain-lain. Kurang lebih selama 21 tahun beliau belajar di Tanah Suci. Rinciannya, 16 tahun belajar di Makkah dan 5 tahun belajar di Madinah. Diantara guru beliau adalah Syaikh Abdullah Sanqara, Syaikh Sarbini, Syaikh Manshur, Syaikh Yusuf Hajar dan lain-lain. Kepada Syaikh Yusuf Hajar inilah beliau belajar Ilmu Qira’at Sab’ah.


· Metode Menghafal

Menjaga hafalan lebih sulit daripada menghafal. Begitu dikatakan banyak orang. Selama di Makkah, Kiai Munawwir lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, termasuk Ilmu Qira’at Sab’ah.

Ada 3 tahap yang dilalui Kiai Munawwir. Pertama, selama 3 tahun Kiai Munawwir mengkhatamkan Al-Qur’an setiap minggu. Dalam 7 hari 7 malam, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an sekali. Kedua, selama 3 tahun Kiai Munawwir mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 hari. Artinya Kiai Munawwir membaca hafalan perhari 10 juz. Ketiga, selama 3 tahun beliau mengkhatamkan Al-Qur’an sehari semalam. Tahap terakhir ini berhasil dilalui Kiai Munawwir sehingga beliau benar-benar hafal Al-Qur’an diluar kepala. Bahkan, konon setelah melewati tahap ketiga, Kiai Munawwir membaca Al-Qur’an selama 40 hari nonstop. Karena tak berhenti bersuara, mulut Kiai Munawwir sempat mengeluarkan darah. Setelah Ilmu-ilmu Al-Qur’an dirasa cukup, beliau melanjutkan studi ke Madinah.


· Dua Thariq Riwayat Hafs

Menurut Wawan Djunaedi, ada dua Thariq dari riwayat Hafs yaitu Thariq Syatibiyyah dan Thariq Thayyibah. Secara singkat, Thariq Syatibiyyah adalah jalur periwayatan seperti yang disebutkan dalam kitab Hirz Amani Wa Wajh At-Tahanni karya Imam Asy-Syatibi, sementara Thariq Thayyibah adalah jalur periwayatan sebagaimana dituturkan dalam kitab Thayyibah Al-Nasyr karya Imam Ibn Al-Jazari.

Dalam Thariq Syatibiyyah disebutkan ada satu thariq dibawah Imam Hafs yaitu Ubaid bin Ash-Shabbah, adapun Thariq Thayyibah menyebutkan ada 2 thariq dibawah Hafs yaitu Ubaid bin Ash-Shabbah dan Amr bin Ash-Shabbah. Salah satu perbedaan dari dua thariq tersebut adalah dalam persoalan Mad Jaiz Munfashil. Menurut Thariq Ubaid bin Ash-Shabbah kadar panjang bacaan Mad Munfashil adalah 2 alif, sedangkan Thariq Thayyibah 1 alif. Thariq Ubaid Ash-Shabbah inilah yang diikuti oleh Kiai Munawwir.


· Murid-Murid Beliau

Hampir seluruh pesantren Al-Qur’an di Pulau Jawa didirikan oleh kiai yang merupakan murid Kiai Munawwir. Jika bukan murid langsung, kiai tersebut mempunyai guru yang merupakan murid Kiai Munawwir. Dengan kata lain, sanad bacaan mereka sampai kepada Nabi Muhammad melalui Kiai Munawwir.

Diantara murid-murid Kiai Munawwir yang berhasil mendirikan pesantren Al-Qur’an adalah KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH. Badawi (Kaliwungu, Kendal), KH. Umar Abdul Mannan (Mangkuyudan, Solo), KH. Muntaha (Wonosobo), KH. Ma’shum (Gedongan, Cirebon), KH. Hasbullah (Wonokromo, Jogjakarta), KH. Muhyiddin (Jejeran, Jogjakarta).

Para murid Kiai Munawwir itulah yang akhirnya mengembangkan qira’at Riwayat Hafs di masyarakat. Diantara mereka juga memberikan Sanad Qira’at kepada murid-muridnya yang dianggap benar-benar menguasai qira’at. Yang paling terkenal adalah KH. Arwani Amin Kudus.

 

Sumber : Ulama Penjaga Wahyu (M. Sholahudin)

Belum ada Komentar untuk "Biografi KH. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta, pelopor Qira'at Riwayat Hafs di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel