Biografi KH. Ahmad Umar Abdul Mannan, Mangkuyudan Solo


KH. Ahmad Umar Abdul Mannan

· Latar Belakang Keluarga

Lahir pada 5 Agustus 1916, putra Kiai Abdul Mannan ini diberi nama Ahmad Umar. Namanya digabungkan dengan nama Sang Ayah sehingga menjadi “Ahmad Umar Abdul Mannan”. Ayah beliau, Kiai Mannan adalah putra Chasab Adi, seorang ulama’ yang diangkat oleh Keraton Kasunanan Surakarta manjadi Demang di Wonogiri. Beliau merupakan keturunan Bangsawan,

Di masa remaja, Kiai Abdul Mannan belajar di Pesantren Kadirejo, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah yang diasuh oleh Kiai Ahmad. Kiai Abdul Mannan bercita-cita ingin menghafal Al-Qur’an. Menurut Kiai Ahmad yang memiliki indra keenam (sixth sense) dalam istilah sekarang, Kiai Umar tidak akan dapat menghafal Al-Qur’an, namun anaknya kelak yang dapat mewujudkan cita-citanya.

Setelah menginjak usia yang matang, Kiai Abdul Mannan melangsungkan pernikahan. Beliau dikaruniai sembilan anak, empat diantaranya menjadi huffadz. Keempat anaknya yang menjadi huffadz adalah Ahmad Umar (Kiai Umar), Muhammad Nidhom, Ahmad Jisam, dan Musyarofah. Adapun kelima anak yang lain mampu mengkhatamkan Al-Qur’an secara binnadzor. Artinya semua anak Kiai Abdul Mannan mendalami Ilmu Al-Qur’an. Ahmad Umar (Kiai Umar) inilah yang kelak akan mengharumkan nama keluarga dan masyarakat Mangkuyudan.


· Mendirikan Pesantren

Kiai Umar yang telah malang melintang di dunia pesantren yakni belajar di Pesantren Tremas Pacitan, Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan Pesantren Mojosari Nganjuk mulai menyebarkan ilmunya dengan mengajar mengaji keluarganya. Lambat laun banyak orang sekitar yang tertarik dengan pengajarannya sehingga murid-muridnya pun semakin bertambah.

Melihat anaknya yang mempunyai banyak murid, Kiai Abdul Mannan mencarikan lahan kosong yang pantas untuk dijadikan sebagai tempat mengajar atau pesantren. KH. Ahmad Shofawi, seorang Kiai Konglomerat Solo yang dulu sewaktu mudanya pernah nyantri bersama Kiai Abdul Mannan mewakafkan tanah perkebunan kelapanya seluas 3500 hektar kepada Kiai Abdul Mannan. Beliau pun mempersilahkan anaknya, Kiai Umar untuk mendirikan bangunan pesantren di atas lahan tersebut.

Kemudian dibangunlah bilik-bilik sebagai tempat tinggal atau pondokan beserta musholla sebagai tempat mengaji. Mula-mula yang menempati bilik-bilik tersebut adalah keluarga, tetangga, dan para buruh yang bekerja di perusahaan batik milik Kiai Ahmad Shofawi. Di lokasi perkebunan kelapa itulah kelak akhirnya berdiri Pesantren Al-Muayyad yang diasauh oleh KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.

Lokasi tempat pesantren ini awalnya banyak dihuni masyarakat abangan yang jarang menjalankan syari’at islam, bahkan terkesan memusuhi yang rajin beribadah. Banyak gangguan yang dirasakan Kiai Umar diantaranya sering kali bangunan yang baru dipenuhi kotoran manusia dan binatang. Namun, Kiai Umar membiarkan dan menganggap hal itu sebagai pupuk. Lambat laun mereka juga menerima kehadiran pesantren ini.


· Berbagai Kegiatan Lain

Pada tahun 1957, diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Jakarta. Kiai Umar diundang sebagai salah satu dewan juri yang pada saat itu masih berusia 37 tahun. Ini menunjukkan pengakuan masyarakat atas kealiman Kiai Umar dalam bidang Al-Qur’an, terutama dalam bidang bacannya.

Kiai Umar juga pernah menjadi hakim agama di Kotamadya Surakarta, bahkan juga pernah menjadi kepala Pengadilan Agama Tinggi se-Jawa Madura. Hal ini menunjukkan pengakuan masyarakat atas keahlian Kiai Umar dalam bidang hokum islam atau fikih. Beliau memang tidak hanya pandai membaca dan menghafal Al-Qur’an, tapi mengusai kitab kuning secara mendalam.


· Masuk Tarekat

Ada yang berpendapat bahwa Kiai Umar ikut tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang juga merupakan tarekatnya Kiai Arwani Kudus. Sebagaimana Kiai Arwani, Kiai Umar juga mendapat ijazah dari Kiai Muhammad Manshur Popongan Solo. Namun, hingga wafat Kiai Umar tidak pernah mempunyai murid yang meneruskan perjuangan di dunia tarekat. Barang kali Kiai Umar tidak ingin mengganggu aktivitas santrinya yang belajar dan menghafal Al-Qur’an. Cukup beliau sendiri yang mengamalkannya.

Kiai Umar juga dekat dengan dua ulama’ yang terkenal sebagai Kiai Sufi kharismatik yakni KH. Ma’shum Lasem Rembang (ayah Kiai Ma’shum Krapyak atau besan Kiai Munawwir Krapyak) dan KH. Mubasyir Mundzir Kediri (menantu Kiai Munawwir Krapyak). 


· Menghadap Sang Pencipta

Kiai Umar wafat pada 11 Ramadhan 1400 H/24 Juni 1980 M. Beliau meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyah Umar, tanpa memiliki anak. Dau bulan sebelum meninggal, Kiai Umar pernah berbincang-bincang dengan kedua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi. Mereka membicarakan pesantren yang biasanya akan “gulung tikar” jika pengasuhnya tidak mempunyai anak yang meneruskan perjuangan ayahnya.

Untuk menghindari hal tersebut, jenazah Kiai Umar akhirnya dimakamkan di belakang Masjid Al-Muayyad. Jadi makam beliau terletak di tengah-tengah kompleks pesantren. Kemudian pengasuhnya adalah keponakan Kiai Umar, Drs. KH. Abdul Rozaq dan untuk Tahfidzul Qur’an ditangani oleh adiknya yaitu KH. Muhammad Nidhom Abdul Mannan. 


Sumber : Ulama' Penjaga Wahyu (M. Solahudin)



Belum ada Komentar untuk "Biografi KH. Ahmad Umar Abdul Mannan, Mangkuyudan Solo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel